Beranda > Ilmu Pengetahuan, Keperawatan > [Keperawatan Jiwa] Konsep Dasar Gangguan Pola Pikir: Perilaku Kekerasan (PK)

[Keperawatan Jiwa] Konsep Dasar Gangguan Pola Pikir: Perilaku Kekerasan (PK)

Ini adalah cuplikan isi pembahasan makalah yang saya buat tentang keperawatan jiwa ganggguan pola pikir perilaku kekerasan. 😀

A. Pengertian Perilaku Kekerasa

  1. Patricia D.Barry (1998: 140), menyatakan: Agression : An emotion compounded of frustration and hate or rage. It is an emotion deeply rooted in every one of us, a vital part of our emotional being that must be either projected outward on the environment or inward, destructively, on the self.
  2. Suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasari keadaan emosi secara mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, ke dalam diri, atau secara destruktif. Agresi berkaitan dengan trauma pada masa anak, pada saat merasa lapar, kedinginan, basah, atau merasa tidak nyaman. Bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi secara terus-menerus, maka ia akan menampakkan reaksi berupa menangis, kejang, atau kontraksi otot, perubahan ekspresi warna kulit, bahkan mencoba menahan nafasnya.
  3. Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahyakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Stuart dan Suddeen,1995).
  4. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Sering disebut juga gaduh gelisah atau amuki dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkontrol.
  5. Tindak kekrasan dipandang sebagai tindak kriminal yang dilakukan tanpa dikehendaki oleh korban yang menimbulkan dampak fisik, psikologis, sosial serta spritual bagi korban dan juga mempengaruhi sistem keluarga serta masyarakat secara menyeluruh. Korban tindak kekerasan akan merasa tidak berdaya, putus asa, dan merasa kehilangan kemampuan untuk dapat menolong dirinya sendiri, serta mengalami kepedihan psikologis yang luar biasa yang diikuti hilangnya perasaan harga diri sebagai manusia yang utuh yang dimanifestasikan dalam rentang respons dari perasaan cemas dan takut sampai depresi berat. Korban merasa tidak mampu menentukan jalan hidupnya.

B. Etiologi Perilaku Kekerasan

Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri, kebutuhan akan status dan prestise yang tidak terpenuhi.

  1. Frustasi, sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan.
  2. Hilangnya harga diri : pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan sebagainya.
  3. Kebutuhan akan status dan prestise : Manusia pada umumnya mempunyai keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Perilaku Kekerasan

a.      Faktor predisposisi

Ada beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya perilaku kekerasan:

1)      Faktor psikologis

Psychoanalytical Theory: Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting. Pertama insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas; dan kedua, insting kematian yang di ekspresikan dengan agretivitas.

Frustation-agression theory: Teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.

Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif, mendukung pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari pengalaman tersebut:

a)      Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak mampu untuk menyelesaikan secara efektif.

b)      Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanak-kanak, atau seduction parental, yang mungkin telah merusak hubungan saling percaya dan harga diri.

c)      Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk pola pertahanaan atau koping.

2)      Faktor sosial budaya

Social Learning Theory, Teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan, maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini bisa internal atau eksternal. Contoh internal: orang yang mengalami keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka yang tidak menonton film tersebut, seorang anak yang marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya memberinya es agar si anak berhenti marah. Anak tersebut akan belajar bahwa bila ia marah maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Contoh eksternal: seorang anak menunjukkan perilaku agresif setelah melihat seorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka.

Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima, sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang asertif.

3)      Faktor Biologis

Ada bebrapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif mempunyai dasar biologis.

Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada di tengah sistem limbik) binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif. Perangsangan yang diberikan terutama pada nukleus periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis, bulunya berdiri, menggeram, matanya terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menerkan tikus atau objek yang ada di sekitarnya. Jadi kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal  (untuk interpretasi indera penciuman dan memori).

Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif: serotonin, dopamin, norepinefrin, asetilkolin, dan asam amino GABA.

Faktor-faktoryangmendukung:

a)      Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan

b)      Sering mengalami kegagalan

c)      Kehidupan yang penuh tindakan agresif

d)     Lingkungan yang tidak kondusif (bising,padat)

b.      Faktor Presipitasi

Secara umum, seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal. Contoh stresor eksternal: serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan contoh dari stresor internal: merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita.

Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua, yakni:

1)      Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri.

2)      Lingkungan: ribut, kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik interaksi sosial.

D.      Rentang Respon Marah

  1. Asertif           : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan.
  2. Frustasi         : Individu gagal mencapai tujuan kepuasaan saat marah dan tidak dapat menemukan alternative
  3. Pasif              : Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
  4. Agresif           : Perilaku yang menyertai marah
  5. Kekerasan      : Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat. Perilaku kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain secara menakutkan, memberi kata-kata ancaman melukai disertai melukai pada tingkat ringan dan yang paling berat adalah melukai/merusak secara serius  serta klien tidak mampu mengendalikan diri/ mengontrol dirinya.

D.  Tanda dan Gejala

  1. Muka merah, pandangan tajam,ekspresi wajah tegang
  2. Tangan dikepalkan dan gemetar
  3. Rahang mengatup dan tidak mau diajak berkomunikasi
  4. Gelisah, rasa cemas, takut atau panik dan marah
  5. Nada suara meninggi, kehilangan control
  6. Mengancam, melukai diri sendiri dan orang lain
  7. Merasa tidak berharga
  8. Menyerang orang lain
  9. Nafas pendek, keringat banyak, tekanan darah meningkat

E. Akibat Perilaku Kekerasan

  1. Resiko mencederai diri sendiri
  2. Resiko mencederai orang lain
  3. Merusak lingkungan

F.       Respon Korban Tindak Kekerasan

Respon korban tindak kekerasan sangat bergantung pada tingkat perkembangan korban pada saat terjadi tindak kekerasan tersebut. Oleh karena itu, tiap pihak yang peduli dengan korban tindak kekerasan, termasuk perawat, perlu memahami tahap perkembangan individu sehingga dapat mengidentifikasi dampak tindak kekerasan sesuai denga titik rawan pada tiap tahap perkembangan individu.

Foley, cir Shives (1994) menjelaskan reaksi korban tindak kekerasan sesuai dengan tingkat perkembangan mulai dari masa bayi sampai usia dewasa tua. Rasa percaya pada orang dewasa akan terguncang selama masa bayi (0-3 tahun), preokupasi dengan tindakan yang salah dan benar pada masa kanak-kanak (4-7 tahun), persepsi yang salah tentang tindak kekerasan selama masa laten ( 7 tahun -remaja), kerancuan terhadap perilaku tindak kekerasan dan akibatnya sebagai remaja (pubertas sampai 18 tahun), kepedulian terhadap kredibilitas, gaya hidup dan nilai moral terjadi pada masa dewasa muda (18-24 tahun), kepedulian bagaimana tindak kekerasan dapat mempengaruhi kehidupan keluarga dan gaya hidup selama masa dewasa (25-45 tahun), serta kepedulian terhadap keselamatan diri, takut mati, reputasi dan kehormatan, dirasakan oleh orang yang sudah tua (45 tahun dan lebih tua).

 Respon korban terhadap tindak kekerasan perlu dikaji dengan memerhatikan tahap perkembangan individu dan proses adaptasi terhadap tindak kekerasan yang dikenal dengan sindrom trauma tindak kekerasan. Korban tindak kekerasan atau korban serangan dengan ancaman akan mengalami ketidakseimbangan internal dan eksternal sebagai akibat situasi yang mengancam kehidupan yang menimbulkan perasaan takut dan tidak berdaya luar biasa.

Respon korban tindak kekerasan dapat ditinjau dari respons fisik, respon biologis, respon psikologis, respon perilaku, dan respon interpersonal.

  • Respon fisik

Korban tindak kekerasan menderita sejumlah konsekuensi fisik dari yang ringan hingga berat. Cedera ringan bisa hanya abrasi atau lecet pada kepala, leher, muka, torso, dan alat pergerakan. Cedera berat meliputi trauma ganda, fraktur yang parah, laserasi, dan cedera bagian dalam tubuh. Kehilangan penglihatan dan pendengaran dapat diakibatkan oleh pukulan pada kepala. Kekerasan fisik atau seksual dapat mengakibatkan trauma kepala yang menimbulkan perubahan dalam kemampuan berpikir, afek, motivasi, dan perilaku.

  • Respon biologis

Depresi merupakan salah satu respons yang paling sering terjadi akibat penganiayaan. Depresi berdasarkan gangguan yang bersifat biologis sebagai pengaruh dari stres kronis terhadap neurotransmiter dan sistem neuroendokrin. Sebagian besar jenis penganiayaan merupakan bentuk ekstrem dari stres yang kronis. Respon tubuh terhadap stres bersifat kompleks, sistem reaksi yang terintegrasi memengaruhi tubuh dan jiwa.

  • Respon psikologis

Respon psikologis terdiri atas harga diri rendah, rasa bersalah, malu, dan marah.

G.      Proses Adaptasi Pengembalian Keseimbangan

Proses adaptasi untuk mengembalikan keseimbangan dengan membebaskan diri dari perasaan takut dan perasaan tidak berdaya, biasanya disebut  dengan sindrom trauma tindak kekerasan. Sindrom trauma tindak kekerasan terdiri atas 2 tahap yaitu tahap akut atau disorganisasi dan tahap jangka atau reorganisasi

  • Adaptasi Tahap Akut atau Disorganisasi

Tahap disorganisasi meliputi reaksi pertama yang diekspresikan atau reaksi yang ditahan/dikendalikan, reaksi fisik, dan reaksi emosional terhadap situasi yang mengancam kehidupan korban. Pada  tahap akut ini, wanita yang mengalami tindak kekerasan biasanya merasa cemas, marah, merasa bersalah, merasa terhina, mengingkari, syok, tidak percaya, atau merasa takut mati, bahkan merasa ingin membalas dendam. Perasaan yang dialami korban tindak kekerasan dapat bersifat ekspresif dengan membicarakan perasaan yang dialaminya, atau sebaliknya berupaya untuk mengendalikan perasaannya dengan tetap tampak tenang. Ketenangan ini tidak berarti bahwa korban tersebut tidak menderita dan merasa takut, tetapi hanya cara mengatasi traumanya saja yang berbeda.

Reaksi fisik pada tahap akut bergantung pada cedera tubuh yang dialami. Mereka sakit pada bagian tertentu yang terkena serangan atau bersifat umum, seperti merasakan otot yang tegang. Biasanya juga terdapat gangguan pola tidur dan makan. Pada tahap disorganisasi, reaksi emosional akibat tindak kekerasan adalah perasaan takut, takut membahayakan tubuh, takut mati, disertai perasan lain seperti marah terhinadan menyalahkan diri sendiri. Seringkali korban mengalami reaksi emosional yang kuat dan bereaksi secara berlebihan terhadap situasi lain yang tidak berhubungan dengan tindak kekerasan. Misalnya mudah tersinggung, tidak sabar, cengeng, dan marah yang dapat menyebabkan korban merasa tidak mampu mengendalikan diri dan merasa berjarak terhadap dirinya sendiri.

  • Adaptasi Tahap Jangka Panjang atau Reorganisasi

Reorganisasi adalah proses penyesuaian atau adapatasi selama beberapa bulan setelah terjadi tindak kekarasan. Stuart & Sudden (1995) dan Johnson (1996) menyatakan bahwa korban tindak kekerasan mengalami masalah psikologis yang berkepanjangan. Pemulihan keseimbangan fisik, psikologis, sosial, spritual, dan seksual terjadi perbulan atau bertahun kemudian. Korban tindak kekerasan kembali pada kehidupan rutin seperti sebelum terjadi tindak kekerasan. Pada awalnya, bersifat sementara kemudian disusul dengan masa resolusi, yaitu perasaan terhadap diri sendiri, terahdap perilaku tindak kekerasan, dan perasaan kehilangan secara bertahap menyatu.

Pada tahap reorganisasi, hal yang penting dialami adalah:

1)      Mendapatkan kembali rasa aman

2)      Mengatasi perasaan takut

3)      Mengakhiri perasaan kehilangan, seperti kehilangan harga diri dan rasa percaya

4)      Menyatukan kejadian ke dalam diri secara menyeluruh.

Trauma akibat tindak kekerasan yang tidak terselesaikan dapat juga terjadi apabila tidak ada atau sangat sedikit intervensi yang mendukung korban pada masa akut (disorganisasi), tindak kekerasan terjadi berulang kali, sebelum terjadi tindak kekerasan korban tersebut sedang menghadapi stresor kehidupan, dan tidak mempunyai dukungan sosial.

Trauma akibat kekerasan yang tidak teratasi dapat terlihat pada:

1)      Individu yang mengalami gejala fobia, seperti rasa takut sendirian atau ke luar rumah

2)      Menarik diri dari kegiatan sosial, HDR dan perasaan bersalah

3)      Hanya dengan sedikit pemicu dapat menimbulkan gejala trauma tindak kekerasan

4)      Menghindari kontak dengan orang yang identik dengan pelaku tindak kekerasan

5)      Menarik diri, pendiam, atau mudah marah terhadap keluarga dan teman. Kondisi tersebut biasanya terlihat pada korban tindak kekerasan yang tidak pernah membicarakan kejadian yang dialaminya

sumber: diambil dari beberapa blog

  1. EmMy
    Januari 3, 2012 pukul 22.22

    Makasih banyak atas artikelnya….
    Menambah referensi tugasku 🙂

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan Balasan ke EmMy Batalkan balasan